Tantangan hari ke-3

#tantanganGurusiana

Pagi masih belum cukup bersemangat, karena mentari masih bersembunyi dibalik barisan awan. Seperti biasa, aku tak langsung beranjak dari ranjangku, bantal dan guling selalu enggan aku tinggalkan. Disaat malam tiba, aku selalu berangan-angan untuk menjadi wanita sempurna, bangun dipagi hari, membersihkan tempat tidur dan menyiapkan sarapan untuk keluarga. Namun, gadis remaja seperti aku selalu saja tak mampu menahan godaan untuk melanjutkan tidur. Aku selalu merasa kurang tidur walau telah lebih dari 8 jam. Ibu selalu melarangku tidur setelah melakukan sholat subuh, tapi apa daya, untuk hal tidur, aku tak bisa tidak melakukannya.

Dengan hampir berteriak ibu memanggilku. Tetap aku jawab, tapi mataku lengket, kelopak mataku terlalu erat menutupi lacrimal punctum ku, hingga aku tak mampu melawannya.

“ayolah nak, ibu sudah hampir selesai” ajakan ibu untuk bangun terus berulang-ulang.

Ibuku, wanita sempurna di mataku, kesabaran yang Ibu miliki memang tak terbatas. Semenjak kepergian ayah untuk selamanya, Ibulah tulang punggung keluarga. Ibu mengawali pagi sebelum ia cukup melepas lelahnya. Setiap hari ibu membuat berbagai macam kue dan makanan ringan, semuanya akan dititipkan ke warung-warung, terutama warung kopi karena setiap pagi akan ramai pengunjung yang akan menikmati secangkir kopi. Terkadang aku binggung dengan pengunjung warung kopi yang aku datangi, mereka menikmati pagi bersama secangkir kopi di warung, lalu apa istri mereka tidak menyediakan kebutuhan suaminya. Ayah hampir tidak pernah keluar rumah hanya ingin menikmati kopi, karena Ibu selalu ada untuk kami semua.

Dengan perlawanan yang sengit akhirnya kelopak mataku mengakui kehebatanku mengalahkannya. Ibu sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar, dan kali ini agak keras dan membuat kesadaranku pulih.

“Semangat Pagi Ayah” ku sapa foto pria hitam manis yang selalu tersenyum manis. Dengan langkah gontai ku gapai handuk dan menuju kamar mandi untuk bermain bersama air.

“Selamat Pagi wanita cantikku”, selesai mandi aku menghampiri Ibu. Ibu terlihat tergesa-gesa, aku membantu memasukkan kotak-kotak kue kedalam tas kain yang selalu dibawa untuk mengantar kue. Walaupun Ibu merasa lelah membuat kue, namun Ibu tak pernah memaksaku membantunya. Kata Ibu, tugasku belajar dan berusaha untuk tidak berada didapur seperti Ibu.

“Sarapan dulu sana, setelah itu baru kita mengantar kue-kue ini”

“Iya Bu” jawabku menuju meja makan. Di meja telah tersedia laksa goreng yang dijamin pedas dan aku suka itu. Laksa adalah makanan khas Kepulauan Riau, berbentuk mie dan terbuat dari tepung sagu. Laksa bertekstur kenyal, dan lebih besar daripada mie. Biasanya laksa dihidangkan dengan tambahan kuah atau digoreng. Sepertinya laksa goreng Ibu pagi ini sangat sederhana, tanpa sayuran dan telur, hanya ebi yang Ibu lebihkan.

“Ibu, bumbu tambahan apa yang Ibu campurkan pada laksa pagi ini” Tanya ku memandang piring yang telah kosong dihadapan ku.

“Bumbu biasa, sama seperti yang Ibu gunakan setiap hari, kenapa?” Ibu keheranan dan menghampiriku.

“Lihatlah Ibu, aku telah memakan semuanya, dan aku rasa Ibu telah menambahkan obat tidur didalam laksa ini” jawab ku menahan senyum.

“waktu tidur sudah selesai, ayo kita antar kue” jawab ibu dengan tawanya dan aku menyambut tawa Ibu dengan pelukan sayang.

“Hari libur, hari buat tidur sepuasnya” hatiku bersorak.